Sabtu, 15 Februari 2014

Sudden death case due to myocarditis

Rare Case



Berikut ini adalah suatu kasus yang sulit yang baru aku alami. Suatu kasus yang masih tanda tanya karena suatu keterbatasan fasilitas, berikut ini adalah kasusnya:

          Seorang wanita, Ny.HM, umur 30 tahun datang ke poli saraf dengan keluhan kepala sakit, tulang terasa sakit, kira-kira sejak 2 hari ini. Dari pemeriksaan fisik: BB 62 Kg, TD: 130/80 mmHg GCS:15 Pupil isokor Rc+/+ ODS 4 mm dan didiagnosis Cefalgia (vascular) DD/SAH dianjurkan untuk CT scan kepala. CT scan tanpa kontras ternyata dalam batas normal, sehingga dianjurkan untuk rawat jalan dan diberikan obat racikan untuk sakit kepala, forres 3x1 dan pepzol 1x1.
             3 hari kemudian pasien kembali ke poli neurologi dengan keluhan kelemahan di kaki yang menjalar ke tangan dan punggung. Dari pemeriksaan fisik: GCS 15 TD: 100/80 mmHg Refleks fisiologis menurun Refleks patologis tidak ada. Pasien dianjurkan untuk dirawat inap dengan diagnosis tetraparese tipe LMN DD/ hipokalemia, GBS, AIDP. Dari hasil x-ray toraks: Cor dan Pulmo tak tampak kelainan.
Hasil lab: wbc: 17,5 Hb:14,1 Ht:41,7 Trom: 272 SGOT/PT: 207/192 Ur/Cr: 36/0,90 GDS: 107 Na:137 K:4,18 Cl:100.5 Ca:1,022 Total bilirubin: 0,7 Direct/indirect bilirubin: 0,3/0,4.
Pasien juga mengeluh nyeri dada, kemudian di EKG:

dari hasil EKG tersebut ada gambaran ST elevasi anterolateral, kemudian di cek CK-CK-MB hasilnya: 8600/1030. Pasien ini dikonsulkan ke internist dan didiagnosis dermatomiolisis dan mendapatkan terapi antibiotik (ceftriaxon), metilprednisolon injeksi, imuran (obat DMARDS). Perawatan 2 hari, keluhan berkurang, kelemahan kedua tungkai berkurang. Pada hari ketiga perawatan pasien mengeluh perdarahan dari jalan lahir, dan dikonsulkan ke dokter kebidanan dengan diagnosis sementara DUB. Sore hari pasien di USG abdomen hasilnya: dalam batas normal. Pada pukul 6 sore pasien merasakan sesak di dada seperti ditimpa beban berat, kemudian di EKG ulang hasilnya:

dari EKG tersebut terlihat ada progresivitas ST elevasi yang semakin berat, segera pasien dianjurkan untuk masuk ICU. Pasien kemudian dikonsulkan ke dokter jantung dan mendapatkan: captopril 3x6,25 mg, digoxin iv 0,125 mg dilanjutkan dengan digoxin 0,125 mg oral 1x1, ISDN 3x1, morphin bila nyeri dan didiagnosis miokarditis.
        Pada pukul 01.00 dini hari pasien tiba-tiba teriak kesakitan di dada, disertai perubahan gelombang EKG dengan denyut jantung 200-210 x/menit. Segera diberikan amiodaron 150 mg IV secara perlahan menampilkan EKG ini setelah itu:

Gambaran EKGnya seperti VT dengan denyut jantung lebih dari 170 x/mnt. Beberapa saat kemudian denyut jantung 130-150 x/mnt namun masih seperti diatas. Kemudian pasien mulai hipotensi dan terlihat adanya tanda-tanda syok. Segera dilakukan defibrilasi sinkronisasi mulai dengan dosis 50 joule. Namun setelah dilakukan defib pasien menjadi asistol, segera dilakukan resusitasi, kemudian ROSC (return of spontaneous circulation), tapi dengan  gambaran EKG sama dengan EKG tersebut diatas yaitu:

Dengan EKG seperti ini yang tidak respons dengan defib pasien ini didiagnosis dengan miokarditis fulminan. Pasien kembali asistol bila dilakukan defib, dan akhirnya pada asistol yang keempat pasien tidak respon dengan resusitasi dan dinyatakan meninggal.

Pembahasan:
Ini merupakan kasus yang jarang, dan sebelum berobat ke rumah sakit mengeluh timbul bintik-bintik merah diseluruh tubuh terutama di wajah semacam vaskulitis. Hal ini kecurigaan ke SLE, namun karena tidak bisa dilakukan pemeriksaan ANA test atau dsDNA, maka hal ini menjadi diagnosis banding penyakit autoimun.
      Pasien ini tidak ada trombosis pada arteri koronaria, namun CK-CKMB melambung tinggi dengan gambaran EKG ST elevasi. Hal ini disebabkan sel-sel jantung mengalami kerusakan sehingga enzim-enzim jantung meningkat dalam darah. Hal ini merupakan proses yang menyerang diri sendiri.
         VT yang terjadi akibat kerusakan pada sel otot jantung yang menyebabkan scaring yang berlanjut mempengaruhi konduktivitas jantung sehingga membuat sirkuit reentri di ventrikel (sama halnya pada kasus SVT). Defib berfungsi untuk menghentikan proses automatisitas ventrikel ini dan memulai gelombang sinus lagi.Namun bila begitu banyak sel miokardium (akibat miokarditis) sehingga menyebabkan kerusakan konduktivitasnya maka akan menyebabkan tidak respons. Dari berbagai jurnal, se-persistennya VT akan respon juga dengan terapi baik defib maupun obat-obatan, tetapi pada kasus yang tidak terjadi kerusakan otot jantung alias normal seperti pada jurnal ini:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19773513
http://www.intechopen.com/download/get/type/pdfs/id/21894

Kasus yang mirip pernah juga terjadi dapat dilihat di:
http://www.elsevier.pt/en/revistas/revista-portuguesa-cardiologia-334/artigo/fulminant-myocarditiscase-report-90145778
Dari laporan kasus ini, kasus yang tidak respon dengan steroid sangat memiliki prognosis yang buruk sekali. Selain penyakit autoimun, miokarditis juga dapat disebabkan oleh virus, ada juga bisa disebabkan penyakit dermatomiositis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar