Senin, 10 November 2014

FISIOLOGI SURFAKTAN ALVEOLI

Surfaktan Alveoli


        Gas yang masuk dalam alveoli akan berdifusi ke dalam kapiler sehingga alveoli harus tetap mengembang agar oksigen dapat berdifusi. Apabila alveoli tidak mengembang maka akan menyebabkan hypoxemia atau oksigen dalam darah rendah mengakibatkan metabolisme sel tubuh terjadi secara anaerobik. Agar alveoli tetap mengembang diperlukan surfakan untuk mengurangi tegangan permukaan akibat adanya molekul cair dalam alveoli. Semakin besar daya kembang alveoli maka semakin baik pula alveoli tersebut yang sesuai dengan hukum LaPlace. Bayi prematur cenderung kolaps alveolinya karena defisiensi surfaktan, sehingga harus menggunakan alat bantu nafas seperti CPAP (Continuous Positive Airway Pressure) yang diberikan PEEP (Positive End Expiratory Pressure) yaitu diberikannya tekanan pada saat akhir ekspirasi sehingga alveoli tidak sempat untuk kolaps.
Berikut ini adalah kuliah Surfaktan Alveoli yang juga diperuntukkan bagi blok respirasi.





Fisiologi Pleura

PLEURA


      Pleura dapat diibaratkan seperti bantalan paru-paru, atau suction yang memungkinkan untuk mengembangkan paru-paru. Untuk dapat mengembangkan paru-paru maka pleura harus bertekanan lebih negatif dari tekanan dalam alveolar yang kita sebut tekanan transpulmonal. Bila tekanan ini hilang maka akan menyebabkan pneumotoraks sehingga menimbulkan sesak nafas atau dyspneu. Bila tekanannya bertambah seperti pada efusi pleura, makan hal ini akan mendesak paru, sehingga tidak dapat mengembang dengan baik karena fungsi sebagai suction juga hilang. 
Berikut ini adalah kuliah Fisiologi Pleura yang juga diperuntukkan bagi blok Respirasi.


Fisiologi Ventilasi Pulmonal

VENTILASI PULMONAL


       Ketika manusia bernafas harus ada usaha dari rongga toraks untuk mengembang yaitu dengan memperluas volume paru seperti kontraksi otot diafragma sehingga bidang superoinferior membesar dan kontraksi otot inspirasi seperti m.interkostalis eksternus sehingga bidang anteroposterior dada membesar. Hal ini akan menyebakan terjadinya proses inspirasi (udara masuk ke dalam rongga dada) dan ekspirasi (udara dapat keluar ke atmosfir), siklus ini disebut ventilasi pulmonal. Keluar masuknya udara ke dalam paru-paru akibat perubahan volume dan tekanan yang diatur sesuai dengan hukum Boyle.

Berikut ini adalah kuliah tentang ventilasi pulmonal yang juga diperuntukkan bagi blok Respirasi.






Fisiologi Anemia

FISIOLOGI ANEMIA


       Anemia adalah suatu gejala penyakit yang dapat berbahaya jika tidak ditanggulangi. Banyak penyebab anemia, bisa karena perdarahan, keganasan, masalah pada produksinya di sumsum tulang, masalah pada proses pembentukannya seperti akibat defisiensi Fe, B12, asam folat, atau hormon EPO (eritropoetin), atau masalahnya pada sistem sirkulasi akibat infeksi malaria yang meyebabkan hemolisis atau bahkan akibat penyakit kronis seperti CKD, sirosis hepatis, hipotiroid dll.
          Apapun penyebabknya maka terapi pertama yang harus diberikan adalah transfusi darah dengan target kadar Hb 8-10 g/dL untuk mencapai delivery oxygen (DO2) yang memadai.
Berikut ini adalah link kuliah Fisiologi Anemia yang diperuntukkan juga bagi blok hemato onkologi.

      

Fisiologi Hemostasis

Fisiologi Hemostasis


       Tubuh kita memiliki kemampuan untuk mencegah agar darah tidak hilang dari pembuluh darah, ini adalah sesuatu yang baik dari proses hemostasis yang kita sebut clotting. Namun demikian, bila berlebihan dapat menyebabkan trombus bahkan embolus, atau DIC, hal ini tidak baik. Berikut ini adalah kuliah tentang Fisiologi Hemostasis, yang juga diperuntukkan untuk blok Hemato Onko.
Klik link berikut ini:


FISIOLOGI LEUKEMIA

Fisiologi Leukemia

     Leukemia secara sederhana disebut sebagai kanker darah. Berikut ini adalah kuliah tentang Fisiologi Leukemia yang menjelaskan kerangka dasar Leukemia, bagaimana pendekatan kita mendiagnosis penyakit Leukemia. Kuliah ini juga diperuntukkan bagi mahasiswa blok Hemato Onko. Berikut adalah linknya:

 

Selasa, 04 Maret 2014

Myastenia Gravis

Myastenia Gravis

Beberapa hari ini banyak kasus-kasus unik yang aku temuin. Berikut ini adalah kasus MG:

          Seorang wanita, 29 tahun, datang ke IGD kira-kira pk.15.00 wib dengan sesak nafas berat. Sesak nafas mulai dirasakan sejak dua hari SMRS, yang semakin memberat. Pasien biasa makan obat Mestinon 4x1 tablet setiap hari, pagi ini sudah minum 2 tablet. Sesak nafas diawali dengan batuk pilek dan di daerah paha ada dua bisul. Riwayat asma (-), DM (-), PJK (-), HT (-), riwayat miastenia gravis (+). Kemudian dari PD ditemukan: TD:180/90 mmHg N:140 x/mnt RR:40 x/mnt SpO2: 88%. Paru tidak ditemukan wheezing dan ronki, jantung dbn, abdomen dbn. Pada daerah paha ditemukan abses yang pecah ukuran 3x1x0,5 cm dan 1x0,5x0,2 cm. Pasien segera diberikan prostigmin 1 ampul, dan medixon 1 ampul. Pasien berangsur-angsur berkurang sesaknya, tensi menjadi: 130/75 mmHg, nadi: 110 x/mnt, SpO2 98% dengan oksigen NRM 15 liter per menit. 30 menit kemudian pasien menjadi sesak kembali dan mulai somnolens, segera dibolus kembali prostigmin dan medixon extra kembali, dan dipasang CPAP (Continous Positive Airway Pressure) dengan Ps: 8, Peep:5, trigger flow 3 cmHg, FiO2 60%. Pasien mulai berkurang sesaknya, dan kesadaran mulai baik. Terapi tambahannya imuran dan antibiotik.
             Pasien ini sesak kembali sebanyak 2 kali setiap 2,5 jam. Oleh karena itu pasien diberi drip prostigmin 8 ampul dengan 2,5 cc/jam. Keluhan mulai membaik, keesokan harinya pasien sudah menggunkan oksigen nasal 4 lpm dan dapat menceritakan dengan lancar penyakit dan riwayat pengobatan sebelumnya. Namun pada pk. 23.00 pasien tiba-tiba merasa sakit kepala hebat, sampai teriak kesakitan, analgetik biasa spt ketorolac 30 mg iv, tidak respon alias tidak berkurang, sehingga kesimpulannya kemungkinan ini akibat efek samping prostigmin drip sehingga dosis dikurangi menjadi 1,5 cc per jam. Pasien mulai gelisah, dengan nadi yang mulai takikardi 120-130 x/mnt, dan pada pukul 00.30 pasien mulai gagal nafas, sehingga langsung di ambu, dan diintubasi dengan ventilator mode asist kontrol. Karena pasien gelisah, diberikan sedasi midazolam 2 mg/jam. 
              Keesokan harinya, pada pukul 07.00 wib, pasien mulai menunjukkan tanda-tanda syok: akral dingin, takikardi terus menerus, dan tensi cenderung turun sehingga diberikan loading cairan.Karena pasien ini cenderung takikardi yang tidak membaik, nadi 150-160 x/mnt, untuk memonitor hemodinamik diputuskan untuk dipasang CVC. CVC terpasang pada subklavia kanan, didapatkan CVPnya 20 cmH2O. Dengan asumsi cairan udah cukup, maka untuk membantu kontraksi jantung diberikan dobutamin 5 mikro. Pada pukul 24.00 pasien hipotensi, TD:70-80 mmHg, maka diberikan vascon titrasi naik, namun sama sekali tidak ada perbaikan. 30 menit kemudian pasien mulai bradikardi, tidak respon dengan SA 2 ampul, kemudian pasien malah asistol, sehingga di RJP. Pada pk.01.00 pasien dinyatakan meninggal. Pasien ini kemudian didiagnosis akhir Myastenia Crisis.

Pembahasan:
           Pasien ini ternyata baru diketahui menderita MG kira-kira sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan diawali dengan pandangan dobel pada tahun 2008, kelopak mata sebelah kiri terasa berat dibuka.Ketika dicek ke spesialis mata tidak ditemukan kelainan pada mata. Beberapa saat kemudian pasien mengeluh sering tersedak ketika makan dan minum, terkadng air yang diminum keluar dari hidung. Pasien akhirnya dibawa ke Pelembang, 2011, dilakukan pemeriksaan CT-scan namun hasilnya dbn. Setelah dilakukan pemeriksaan lengkap, pasien ini disimpulkan menderita Myastenia Gravis. Pasien ini diberikan mestinon dimakan 4x1 tablet. Setelah itu pasien dapat beraktivitas normal. Pada tahun 2012 keluhan melihat dobel juga dirasakan hilang timbul, dan pada tahun 2013 pasien dibawa berobat ke Jakarta. Dari pemeriksaan lab: acetylcholine resceptor autoantibody (AchRab) : > 16,60 nmol/L (hasil positif bila > = 0,45 nmol/L dan Prolaktin estrogen: 274,70 ng/mL (normal: 4,79-23.30 ng/mL). Pada pemeriksaan EMG ditemukan Tes Harvey Masland positif (tampak decrement amplitude CMAP n.accesorius dan n.facialis kiri > 10% pre dan post exercise.(ocular myastenia).Pasien kemudian dilakukan beberapa kali plasmaparesis.
               Setelah beberapa plasmaparesis tahun 2013, pasien sama sekali sehat dan tidak ada keluhan, sehingga pasien dan keluarga tidak minum obat dan kontrol lagi. Akibatnya pasien datang ke IGD dengan sesak nafas. Karena di kota ku ini tidak ada fasilitas plasmaparesis maka prognosis pasien ini menjadi buruk.
            Myastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang reseptor nikotinik asetilkolin postsinaptik, sehingga menghambat proses eksitasi sel (depolarisasi). Penanganannya adalah membersihkan antibodi dengan plasmaparesis atau pemberian IVIg, atau untuk mengurangi gejala sementara dengan penghambat enzim asetilkolinesterase. Penyakit autoimun yang juga menyerang saraf adalah: GBS (menyerang lapisan mielin saraf perifer), MS (demielinisasi saraf pusat dan spinalis), ALS (kematian saraf UMN dan LMN akibat kelainan genetik yang mengkode produksi proteinnya).
             Penanganan yang tepat dan cepat sangat penting untuk menyelamatkan nyawa pasien seperti ini, namun harus didukung dengan fasilitas yang baik pula seperti plasmaparesis.
              

 


Sabtu, 15 Februari 2014

Sudden death case due to myocarditis

Rare Case



Berikut ini adalah suatu kasus yang sulit yang baru aku alami. Suatu kasus yang masih tanda tanya karena suatu keterbatasan fasilitas, berikut ini adalah kasusnya:

          Seorang wanita, Ny.HM, umur 30 tahun datang ke poli saraf dengan keluhan kepala sakit, tulang terasa sakit, kira-kira sejak 2 hari ini. Dari pemeriksaan fisik: BB 62 Kg, TD: 130/80 mmHg GCS:15 Pupil isokor Rc+/+ ODS 4 mm dan didiagnosis Cefalgia (vascular) DD/SAH dianjurkan untuk CT scan kepala. CT scan tanpa kontras ternyata dalam batas normal, sehingga dianjurkan untuk rawat jalan dan diberikan obat racikan untuk sakit kepala, forres 3x1 dan pepzol 1x1.
             3 hari kemudian pasien kembali ke poli neurologi dengan keluhan kelemahan di kaki yang menjalar ke tangan dan punggung. Dari pemeriksaan fisik: GCS 15 TD: 100/80 mmHg Refleks fisiologis menurun Refleks patologis tidak ada. Pasien dianjurkan untuk dirawat inap dengan diagnosis tetraparese tipe LMN DD/ hipokalemia, GBS, AIDP. Dari hasil x-ray toraks: Cor dan Pulmo tak tampak kelainan.
Hasil lab: wbc: 17,5 Hb:14,1 Ht:41,7 Trom: 272 SGOT/PT: 207/192 Ur/Cr: 36/0,90 GDS: 107 Na:137 K:4,18 Cl:100.5 Ca:1,022 Total bilirubin: 0,7 Direct/indirect bilirubin: 0,3/0,4.
Pasien juga mengeluh nyeri dada, kemudian di EKG:

dari hasil EKG tersebut ada gambaran ST elevasi anterolateral, kemudian di cek CK-CK-MB hasilnya: 8600/1030. Pasien ini dikonsulkan ke internist dan didiagnosis dermatomiolisis dan mendapatkan terapi antibiotik (ceftriaxon), metilprednisolon injeksi, imuran (obat DMARDS). Perawatan 2 hari, keluhan berkurang, kelemahan kedua tungkai berkurang. Pada hari ketiga perawatan pasien mengeluh perdarahan dari jalan lahir, dan dikonsulkan ke dokter kebidanan dengan diagnosis sementara DUB. Sore hari pasien di USG abdomen hasilnya: dalam batas normal. Pada pukul 6 sore pasien merasakan sesak di dada seperti ditimpa beban berat, kemudian di EKG ulang hasilnya:

dari EKG tersebut terlihat ada progresivitas ST elevasi yang semakin berat, segera pasien dianjurkan untuk masuk ICU. Pasien kemudian dikonsulkan ke dokter jantung dan mendapatkan: captopril 3x6,25 mg, digoxin iv 0,125 mg dilanjutkan dengan digoxin 0,125 mg oral 1x1, ISDN 3x1, morphin bila nyeri dan didiagnosis miokarditis.
        Pada pukul 01.00 dini hari pasien tiba-tiba teriak kesakitan di dada, disertai perubahan gelombang EKG dengan denyut jantung 200-210 x/menit. Segera diberikan amiodaron 150 mg IV secara perlahan menampilkan EKG ini setelah itu:

Gambaran EKGnya seperti VT dengan denyut jantung lebih dari 170 x/mnt. Beberapa saat kemudian denyut jantung 130-150 x/mnt namun masih seperti diatas. Kemudian pasien mulai hipotensi dan terlihat adanya tanda-tanda syok. Segera dilakukan defibrilasi sinkronisasi mulai dengan dosis 50 joule. Namun setelah dilakukan defib pasien menjadi asistol, segera dilakukan resusitasi, kemudian ROSC (return of spontaneous circulation), tapi dengan  gambaran EKG sama dengan EKG tersebut diatas yaitu:

Dengan EKG seperti ini yang tidak respons dengan defib pasien ini didiagnosis dengan miokarditis fulminan. Pasien kembali asistol bila dilakukan defib, dan akhirnya pada asistol yang keempat pasien tidak respon dengan resusitasi dan dinyatakan meninggal.

Pembahasan:
Ini merupakan kasus yang jarang, dan sebelum berobat ke rumah sakit mengeluh timbul bintik-bintik merah diseluruh tubuh terutama di wajah semacam vaskulitis. Hal ini kecurigaan ke SLE, namun karena tidak bisa dilakukan pemeriksaan ANA test atau dsDNA, maka hal ini menjadi diagnosis banding penyakit autoimun.
      Pasien ini tidak ada trombosis pada arteri koronaria, namun CK-CKMB melambung tinggi dengan gambaran EKG ST elevasi. Hal ini disebabkan sel-sel jantung mengalami kerusakan sehingga enzim-enzim jantung meningkat dalam darah. Hal ini merupakan proses yang menyerang diri sendiri.
         VT yang terjadi akibat kerusakan pada sel otot jantung yang menyebabkan scaring yang berlanjut mempengaruhi konduktivitas jantung sehingga membuat sirkuit reentri di ventrikel (sama halnya pada kasus SVT). Defib berfungsi untuk menghentikan proses automatisitas ventrikel ini dan memulai gelombang sinus lagi.Namun bila begitu banyak sel miokardium (akibat miokarditis) sehingga menyebabkan kerusakan konduktivitasnya maka akan menyebabkan tidak respons. Dari berbagai jurnal, se-persistennya VT akan respon juga dengan terapi baik defib maupun obat-obatan, tetapi pada kasus yang tidak terjadi kerusakan otot jantung alias normal seperti pada jurnal ini:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19773513
http://www.intechopen.com/download/get/type/pdfs/id/21894

Kasus yang mirip pernah juga terjadi dapat dilihat di:
http://www.elsevier.pt/en/revistas/revista-portuguesa-cardiologia-334/artigo/fulminant-myocarditiscase-report-90145778
Dari laporan kasus ini, kasus yang tidak respon dengan steroid sangat memiliki prognosis yang buruk sekali. Selain penyakit autoimun, miokarditis juga dapat disebabkan oleh virus, ada juga bisa disebabkan penyakit dermatomiositis.

Rabu, 12 Februari 2014

Kedalaman ETT (optimal endotracheal tube length for orotracheal intubation)

Kedalaman ETT
         Kedalaman ETT penting sekali untuk dievaluasi. Tujuannya untuk melindungi pita suara (beserta saraf2nya seperti SLN (superior laryngeal nerve), RLN (recurrent laryngeal nerve) dan menghindari intubasi endobronkial. Bila terlalu dekat dengan pita suara akan menyebabkan suara serak (saraf SLN), stridor/distress pernafasan (RLN), menghindarkan rusaknya cincin krikoid dan bila terlalu dekat dengan karina (cabang trakea yang menjadi bronkus kanan dan kiri) akan menyebabkan kolapsnya paru kiri (atelektasis) dan hiperinflasi paru kanan (dapat menyebabkan pneumotoraks).
             Kita harus memahami anatomi laring dan trakea. Laring terdiri dari sembilan tulang kartilago yaitu 1 tulang kartilago tiroidea, 1 epiglotis, 1 kartilago krikoid, 2 ariteoid, 2 kornikulata, dan 2 kuneiformis. Di dalam laring ini terdapat kotak suara (Voice box) yang merupakan alat musik terbaik yang melebihi kehebatan alat musik ciptaan manusia yang pernah ada, karena hanya alat musik ini yang dapat mengeluarkan nada dan irama sekaligus dengan kata-kata (bernyanyi), sedangkan alat musik seperti piano hanya bisa mengeluarkan nada dan tidak bisa bernyanyi.



           Berdasarkan website ini: http://www.bartleby.com/107/236.html menyebutkan bahwa ukuran laring sbb:

In males.In females.
Length44 mm.36 mm.
Transverse diameter43 mm.41 mm.
Antero-posterior diameter  36 mm.26 mm.
Circumference136 mm.112 mm.

           Trakea memiliki komposisi yang keras tetapi bersifat fleksibel (bentuknya seperti pipa) dan terletak di anterior esofagus. Trakea melekat pada kartilago krikoid (pada level vertebrae C6), dan berakhir pada mediastinum bercabang menjadi bronkus primer kiri dan kanan setinggi vertebra level T5 (karina) seperti pada gambar dibawah. Trakea berbentuk huruf  "C" terdiri dari dari kartilago hialin yang berfungsi melindungi saluran pernafasan saat proses menelan supaya saat esofagus melakukan gerakan peristaltis propulsif tidak menyebabkan perasaan nyangkut di leher.



          Oleh karena itu, dari berbagai jurnal menyebutkan ujung ETT harus 3-4 cm di atas karina begitu pula balon ETT harus 3-4 cm dibawah pita suara, dan harus betul-betul dipastikan ETT tidak terletak pada krikoid tetapi harus di trakea, karena anatomis trakea pada bagian posterior terdiri atas otot polos yang berbatasan langsung dengan esofagus yang memungkinkan mengurangi tekanan akibat terlalu kembangnya balon.
Biasanya ETT itu diatas balonnya ada garis hitam (seperti gambar kanan atas), bila garis hitam ini kita tempatkan dibawah sedikit pita suara maka intubasi endobronkial dan pita suara akan aman.
      Berdasarkan jurnal Appropriate depth of placement of oral endotracheal tube and its possible determinants in Indian adult patients di alamat: 
disebutkan  bahwa panjang antara bibir ke karina dapat diperkirakan dengan rumus:
            (L-C) = 0.478 + 0.14 × height (cm)
selanjutnya kedalaman optimal intubasi ETT rumusnya:
            {Height (cm)/7} – 2.5
Dari buku-buku anestesi disebutkan panjang ETT dari bibir ke ujung ETT sbb:
- Bayi cukup bulan 12 cm
- Anak                     14+umur/2
- Dewasa                  3xdiameter ETT
         Dari penjelasan semuanya itu, secara cepat untuk mengevaluasi penempatan ETT adalah:
- Periksa bunyi suara paru di 3 tempat yaitu apeks kiri-kanan, medial kiri-kanan dan basal kiri-kanan.
- Menempatkan garis hitam ETT yang diatas balon dibawah pita suara sedikit
- Perabaan di atas lengkung suprasternal
- atau x-ray toraks
Kesimpulannya: panjang intubasi ETT penting terutama pada pasien yang memakai ventilator yang lama supaya tidak terjadi KTD (kejadian yang tidak diharapkan)
Sekian, semoga bermanfaat.

Jumat, 31 Januari 2014

Pocket Notebook
POCKET MEDICINE 2011

Bagi kamu yang mau ambil PPDS Ilmu penyakit Dalam ato yang sedang, kudu punya buku ini, dan lumat habis, karena buku ini menjelaskan secara singkat dan tinggal point-point penting aja di dalamnya. Penjelasannya bagus dan bahasa Inggrisnya sederhana. Untuk praktek dokter umum sehari-hari juga bagus dipakai loh apalagi keluaran terbaru 2011, pastinya update.

Bagi kamu yang mau punya buku ini silahkan download dibawah ini: