Minggu, 24 Maret 2013

Harrison Manual Book Edisi 17

Harrison Manual Book Edisi 17 merupakan buku Harrison, kitab suci penyakit dalam versi ringkasnya. Buku ini saya rekomendasikan untuk Anda baca dalam praktek sehari-hari.

Untuk memiliki buku ini silahkan download disini:


Harrison's Manual of Medicine, 17 edition.pdf

Jumat, 22 Maret 2013

UREMIA



Review Jurnal

Uremia
Timothy W. Meyer, M.D., and Thomas H. Hostetter, M.D.
Uremia merupakan salah satu tanda keadaan gagal ginjal. Dahulu uremia disebut meyebabkan hipertensi, kelebihan cairan, hipokalsium, tetani, anemia, namun sekarang setelah diketahui patofisiologinya maka kategori ini sudah disingkirkan.  Keadaan uremia terjadi akibat akumulasi sampah bahan organik yang secara normal  dapat dibuang oleh ginjal. Kapan kita menentukan waktu terjadinya uremia tidak diketahui, biasanya terjadi pasien yang memiliki laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 50%, yang pada orang normal berkisar 120 ml/mnt. Penanganan pasien yang uremia pada gagal ginjal terminal adalah dilakukan dialisis, dan dari penelitian angka harapan hidup selama 5 tahun hanya 35%. Pasien Dialisis dapat segera dilakukan bila ada tanda-gejala uremia sebagai berikut:

Neural and muscular

Fatigue

Peripheral neuropathy

Decreased mental acuity

Seizures
Anorexia and nausea
Decreased sense of smell and taste
Cramps
Restless legs
Sleep disturbances
Coma
Reduced muscle membrane potential

Endocrine and metabolic
Amenorrhea and sexual dysfunction
Reduced body temperature
Altered amino acid levels
Bone disease due to phosphate retention, hyperparathyroidism,
and vitamin D deficiency
Reduced resting energy expenditure
Insulin resistance
Increased protein–muscle catabolism

Other
Serositis (including pericarditis)
Itching
Hiccups
Oxidant stress
Anemia due to erythropoietin deficiency and shortened
red-cell survival
Granulocyte and lymphocyte dysfunction



          GFR 30-60 cc/mnt sesuai berat badan ideal akan menimbulkan gangguan kesadaran, dan akan menuju koma bila semakin menurun, dan akan hilang bila segera dilakukan dialisis.

Sebenarnya dialisis bertujuan agar pasien tetap hidup, namun karena banyak keterbatasan, dialisis tidak dapat menghilangkan semua gejala uremia, maka bila transplantasi berhasil dilakukan dan didapatkan GFR lebih dari 50% maka hasilnya lebih baik.

         Ternyata keadaan uremia bukan berarti selalu kadar ureanya yang tinggi, tetapi peningkatan kadar sampah bahan organik termasuk urea, hal ini disebabkan karena yang biasa kita periksa labnya hanya kadar kreatinin dan ureum, padahal dari penelitian kadar ureum yang meningkat hanya kecil menimbulkan keadaan uremia, justru kadar guanidin yang meningkat di cairan serebrospinal yang menyebabkan penurunan kesadaran yang dapat meningkat sampai 40 kali. Jadi uremia terjadi akibat peningkatan kadar zat seperti berikut ini:

Peptides and small proteins seperti Beta2-microglobulin
Guanidines seperti Guanidinosuccinic acid berasal dari Arginine
Phenols seperti p-Cresol sulfate bersumber Phenylalanine, tyrosine
Indoles seperti Indican berasal dari Tryptophan
Aliphatic amines seperti Dimethylamine berasal dari Choline
Furans seperti CMPF
Polyols seperti Myoinositol berasal dari glucose
Nucleosides seperti Pseudouridine berarasal dari tRNA
Dicarboxylic acids seperti Oxalate berasal dari Ascorbic acid
Carbonyls seperti Glyoxal berasal dari proses glikolisis

Biasanya untuk mengurangi keadaan uremia pasien dibatasi konsumsi protein, namun untuk pasien yang sedang diterapi dialisa secara rutin malah harus diberikan protein + 1,2 gr/KgBB/hari untuk meningkatkan kualitas hidup, karena bahan organik tersebut terbanyak dihasilkan oleh kerja bakteri usus seperti aliphatic amines, d-amino acids, methylguanidine, hippurate, dan indoles and phenols, namun untuk mengurangi kerja bakteri ini belum diteliti.
            Ketika pasien dilakukan dialisis maka minimal dilakukan dua kali dialisis, karena dari penelitian kadar bahan organik akan mencapai puncak lagi pada hari ketiga seperti pada gambar 1 jurnal ini.
            Keadaan uremia juga berpengaruh pada metabolik pasien dan fungsi seluler yaitu:
  1. Resistensi insulin bila pada pasien dengan GFR kurang dari 50%, namun mekanisme belum jelas, sensitivitas insulin akan kembali normal bila dilakukan dialisa, hal ini menjelaskan mengapa pada pasien gagal ginjal terjadi hiperglikemia.
  2. Stress oksidatif, ditandai dengan meningkatnya kadar radikal bebas seperti superoksida atau hidrogen perosikda berasal dari oksidasi langsung protein atau reaksi dengan zat karbonil.
  3. Produksi protein yang terglikasi (AGE/advanced Glication End products) yang secara perlahan merusak sel-sel tubuh, jadi tidak langsung menyebabkan keadaan koma seperti akibat peningkatan kadar sampah organik. Biasanya produk AGE terjadi pada pasien diabetes, namun akibat resistensi insulin pada pasien gagal ginjal terjadi hierglikemia, sehingga terjadi ikatan glukosa yang ireversibel pada protein tubuh.
  4. Inflamasi sistemik, ditandai dengan kadar positif CRP, yang menandakan terjadinya peningkatan kadar interleukin-6, TNF alfa dll. Dengan terjadinya kombinasi peningkatan radikal bebas, produk AGE, dan inflamasi kronis yang biasanya sudah terjadi sebelum masuk ke fase gagal ginjal, menyebabkan terjadinya mortalitas dan morbiditas penyakit kardiovaskuler.
  5. Terganggunya fungsi pompa Na/K ATP-ase, padahal pompa ini mengatur kadar elektrolit intraseluler dan ekstraseluler agar tetap normal seperti natirum dan kalium, dan memberikan akses elektrolit dan zat lain untuk melakukan difusi sekunder. Sehingga pasien ini mengalami gangguan elektolit. 

Berdasarkan itu maka ada jurnal lain yaitu:



A Bench to Bedside View of Uremic Toxins
Raymond Vanholder,* Ulrich Baurmeister,Philippe Brunet,Gerald Cohen,§
Griet Glorieux,* and Joachim Jankowski_ for the European Uremic Toxin Work

Menyambung jurnal sebelumnya, jurnal ini memberian rekomendasi terapi farmakologis atas keadaan yang terjadi pada gagal ginjal yang telah dijelaskan diatas seperti berikut ini:

Aspirin menurunkan prokoagulan dan efek proinflamasi
AST-120 mengabsorbsi indoxyl sulfate
Antihipertensif menurunkan hipertensi dan menjaga fungsi ginjal
ACEi, ARB, dan renin inhibitor menurunkan hipertensi menjaga fungsi ginjal dan jantung, menghambat produksi AGE
Beta bloker menurunkan hipertensi, menormalkan katekolamin
Diuretik menurunkan hipertensi, mencegah overload cairan
Statin mencegah dislipidemia
Phosphate binder menurunkan kadar P, PTH
ESA mencegah anemia
Asam Folit menurunkan homosistein
Resin (e.g., kayexalate) menurunkan kadar kalium

Untuk membaca jurnal ini silahkan download di:


 

Jumat, 15 Maret 2013

Hemodynamic parameters to guide fluid therapy



Dari Annals of Intensive Care oleh Paul E Marik1*, Xavier Monnet2, Jean-Louis Teboul2

Berikut ini merupakan review  jurnal tentang parameter  monitoring hemodinamik saat terapi cairan.


       Volume intravaskuler sangat penting dinilai pada pasien kritis atau trauma atau pun yang dilakukan operasi besar. Dari penelitian disebutkan hanya 50% pasien yang hemodinamik tidak stabil yang memberikan respons fluid challenge, sehingga bila terkadang kita secara acak memberikan loading cairan yang dapat berakibat kelebihan cairan yang berdampak pada peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Seperti biasa bila mendapati pasien yang  perlu monitoring hemodinamik, maka kita langsung melakukan pemasangan CVC (Central Venous Canulation) untuk menilai CVP (Central Venous Pressure) yang menggambarkan keadaan preload di atrium kanan. Akan tetapi dari penelitian selama 30 tahun diketahui bahwa pengisian ventrikel tidak dapat memprediksi respon pemberian cairan. Sekarang diketahui bahwa volume sekuncup menjadi parameter yang dipakai karena sifatnya yang dinamis karena secara tidak langsung juga menggambarkan terjadinya peningkatan atau penurunan preload karena elastisitas otot jantung (mekanisme frank-starling). Olehkarena itu, untuk memonitor secara kontinu dipakailah alat noninvasif seperti:
  • doppler,
  • analisis kontur nadi, dan
  • bioreaktans. 

        Tujuan utama fluid challenge sangat besar manfaatnya pada pasien kritis yang mengalami hipovolemia, pasien syok, karena bila cairan intravaskular terlalu sedikit akan berakibat hipoperfusi jaringan dan memperburuk kerusakan jaringan. Dari penelitian juga didapatkan dengan melakukan resusitasi secara agresif dan cepat akan mengurangi hipoksia jaringan atau bahkan membalikkannya, kerusakan organ dan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu kita harus tahu tanda dan gejala hipoksia dan secara klinis dapat diketahui dari:




  1. Tekanan perfusis serebral dan abdominal
  2. Mean arterial pressure (MAP) 
  3. Urin output 
  4. Status mental 
  5. Capillary refill
  6. Perfusi kulit/mottling atau sianosis
  7. Suhu akral (dingin)
  8. Kadar laktat
  9. Arterial pH, BE, dan HCO3 
  10. Mixed venous oxygen saturation SmvO2 (or ScvO2)
  11. Mixed venous pCO2
  12. Tissue pCO2
  13. Skeletal muscle tissue oxygenation (StO2)


        Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa hampir 90% intensivist dan ahli anestesi seluruh dunia memakai CVP sebagai indikator dalam terapi cairan. Pada dasarnya CVP baik untuk memonitor tekanan atrium kanan, yang menggambarkan volume pengisian ventrikel kanan atau preload ventrikel kanan, selanjutnya diketahui pula secara tidak langsung menggambarkan isi sekuncup ventrikel kanan, selanjutnya isi sekuncup ventrikel kanan menggambarkan volume pengisian ventrikel kiri padahal antara ventrikel kanan dan kiri jaraknya cukup jauh sehingga teori ini tidak tepat karena dipengaruhi oleh:

  • Tonus vena,
  • Perubahan tekanan intrathorasik,
  • Komplains LV and RV, dan
  • Faktor geometry
           Hal ini sudah diteliti lebih dari 100 studi yang mengatakan bahwa CVP tidak berhubungan dengan respon terapi cairan, bahkan para ahli sudah tidak menganjurkan pemasangan CVP untuk memonitor respons terapi cairan di ICU, IGD atau di kamar operasi. Olehkarena itu untuk menilai repons resusitasi cairan dapat dipakai:
  1. Pulse pressure variation (PPV) didapat dari Arterial waveform  
  2. Systolic pressure variation (SPV) didapat dari Arterial waveform  
  3. Stroke volume variation (SVV) didapat dari Pulse contour analysis  
  4. Left ventricular end-diastolic area (LVEDA) didapat dari Echocardiography 
  5. Global end-diastolic volume (GEDV) didapat dari Transpulmonary thermodilution 
  6. Central venous pressure (CVP) didapat dari Central venous catheter 
        Cara yang dapat menilai poin a-c dapat dinilai dari pulse oximeter plethysmographic. Alat ini dapat menilai perubahan volume saat inspirasi dan ekspirasi dan ternyata juga memiliki variasi gelombang yang mirip dengan tekanan arterial saat inspirasi dan ekspirasi. Dasar teori ini terletak pada konsep dasar fisiologi perubahan tekanan paru terhadap volume pada ventrikel kanan dan kiri. Mekanisme ini lebih reliable pada pasien yang diberi bantuan napas mekanis sbb: 



  • Preload ventrikel kanan yang menurun berkorelasi dengan penurunan aliran balik vena yang terjadi pada saat inspirasi akibat peningkatan tekanan pleural

  •  Afterload ventrikel kanan yang meningkat berkorelasi dengan tekanan transtorakal yang terjadi pada saat inspirasi juga
  • Prelaod yang menurun dan afterload meningkat pada ventrikel kanan akan menyebabkan stroke volume (SV) akan menurun.yang mencapai titik terendah pada akhir inspirasi.
  • Hal ini berdampak pada penurunan prelaod ventrikel kiri dan menyebabkan isi sekuncup (SV) ventrikel kiri akan menurun. 

Nah variasi perubahan ini dapat dilihat pada pulse oximeter plethysmographic yang akan kelihatan dua gelombang yang tingginya berbeda saat inspirasi dan ekspirasi, bila delta PplethMax-Ppletmin atau Ppmaks-Ppmin pada variasi tekanan arterial lebih dari 13-14% maka hal ini menjadi prediktor yang sangat baik terhadap respons pemberian cairan pada pasien di ICU, ruang resusitasi atau ruang operasi.
  
Seperti pada gambar dibawah ini:

Atau dengan metode doppler lebih baik lagi dengan menilai kecepatan aliran darah di aorta, tetapi tidak praktis dan tergantung pada keahlian operatornya, jadi tidak bisa dipakai semua orang. 
Tapi di Indonesia sepertinya belum banyak dipakai apalagi di Jambi, tempat saya bekerja, hanya mengandalkan CVP yang kurang akurat dalam menilai resusitasi cairan, dimana CVP menilai preload ventrikel kanan, padahal respons cairan itu yang dinilai dari isi sekuncup (SV) ventrikel kiri. Bila CVC aja bisa dipasang aja udah syukur kali ya, karena tidak semua rumah sakit rutin memasangnya pada pasien kritis, yah...lumayanlah untuk memonitor supaya jangan cairan yang diberikan berlebihan yang berakibat edem paru dan syok kardiogenik. 
Mudah-mudahan di Indonesia cepat terealisasi. Bagi Anda yang ingin membaca jurnal aslinya dapat mendownload di :